BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara sederhana wasiat diartikan dengan “Penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya”. Dari kata “penyerahan harta kepada pihak lain”, wasiat itu termasuk dalam lingkup hibah. Namun karena harta yang diserahkan itu baru dimiliki oleh yang menerima setelah matinya pemilik, dia merupakan pemberian dalam bentuk khusus. Perbedaannya dengan warisan – meskipun sama-sama dimiliki setelah matinya pemilik – ialah bahwa dalam wasiat peralihan harta atas kehendak si pemilik yang diucapkannya semasih hidup, pada warisan tidak ada kehendak dari pemilik harta selama dia masih hidup.
Adapun hikmah dan tujuan hukum dari wasiat ini adalah manfaat bagi sesama hamba Allah dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan cara ini umat akan mendapatkan kemudahan dari tindakan ini. Di samping itu, wakaf dalam arti kata ialah menahan dan menghentikan. Secara terminology diartikan dengan “menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah”. Walaupun bentuk nyatanya wakaf itu menyerahkan harta kepada orang lain dan oleh karenanya dapat disebut pemberian, namun ia mempunyai bentuk tersendiri dengan nama sendiri. Menghentikan pengalihan hak mengandung arti tidak dapat lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan oleh orang yang punya. Dengan demikian dia berarti sudah lepas dari yang punya; namun dia tidak lagi dimiliki oleh siapa-siapa. Karena itu barang yang diwakafkan itu telah menjadi milik Allah sebagai pemilik mutlak dari harta. Karena hasilnya digunakan untuk kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah, dia menyerupai shadaqah. Dia berbeda dengan shadaqah dalam beberapa hal, pertama yang dimiliki oleh yang menerima waqaf hanyalah manfaatnya dan bukan bendanya. Kedua: pahala yang didapat dari yang memberi shadaqah hanyalah sekali waktu memberikannya, sedangkan pahala yang diterima oleh yang berwakaf adalah berkepanjangan selama barang tersebut dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, wakaf itu disebut juga “shadaqah yang mengalir terus”.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. PENGERTIAN WAKAF, WASIAT, HIBAH
1. Pengertian Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”.[1] Menurut istilah “waqaf/wakaf” adalah menahan suatu benda yang kekal abadi secara fisik zatnya serta dapat digunakan untuk sesuatu yang benar dan bermanfaat.
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hambali mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dasar Wakaf
Dasar wakaf terdapat dalam QS. Al-Imron : 92, yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Wakaf
1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)
Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)
Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih)
Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah
Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Jenis-jenis Wakaf
1. Wakaf Mutlak (‘AM) - merujuk kepada amalan menyerahkan harta wakaf dengan tidak menyatakan sesuatu tujuan tertentu dalam perwakafan hartanya. Harta itu boleh dibangunkan bagi apa-apa maksud, selagi tidak bertentangan dengan syarak.
2. Wakaf Muqayyad (KHAS) – amalan mewakafkan harta dimana pewakaf menyatakan tujuan wakaf secara spesifik semasa menwakafkan hartanya. Harta wakaf tersebut hendaklah digunakan hanya untuk tujuan yang dinyatakan secara khusus itu.
Contohnya mewakafkan tanah khas untuk pembinaan masjid, surau, perkuburan dan sebagainya.
Harta Yang Bisa Diwakafkan
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:
a.
sebidang tanah
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
2. Pengertian Wasiat
Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti "pesan, menyambung, menaruh belas kasihan, menjadikan, memerintahkan, dan mewajibkan".[2] Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara umum pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat) dalam keadaan sakit menjelang kematian. Sementara wasiat meliputi atas sesuatu pekerjaan, jasa, maupun harta peninggalan. Dengan demikian, lingkup wasiat dalam pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang menjelang kematian.
Dasar hukum wasiat terdapat dalam QS. Al-baqarah: 180, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) akan mati, apabila ia mempunyai harta yang banyak, berwasiat untuk walidani (ibu dan bapak) dan aqrobun (kaum kerabatnya), secara makruf ini adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.”[3]
Rukun Wasiat
Ada 4 macam rukun wasiat, yaitu:
Pertama :
Harus ada orang yang berwasiat (mushi), harus memenuhi persyaratan, yaitu:
1. Baligh (dewasa),
2. Berakal sehat (aqil)
3. Bebas menyatakan kehendaknya,
4. Merupakan tindakan tabarru’ (derma sukarela atau amal),
5. Beragama islam
Kedua :
Harus ada seseorang atau badan hukum yang menerima wasiat (musha-lahu). Dan orang yang menerima wasiat (musha-lahu) ia harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Harus data diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasiat itu,nama orang tersebut,badan organisasi tertentu,atau mesjid-mesjid.
b. Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada suara yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan.
c. Bukan tujuan kemaksiatan
Ketiga :
Sesuatu yang di wasiatkan (musha-bihi) :
a. Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tak bergerak, atau dapat menjadi objek perjanjian,
b. Benda itu sudah (wujud pada waktu diwasiatkan),
c. Hak milik itu betul-betul kepunyaan si pewasiat (mushi)
3. Pengertian Hibah
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53).
Secara bahasa, dalam kamus al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba-yahabu-hibatan, berarti memberi atau pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Menurut istilah, pengertian hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di antaranya: Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan pengertian hibah sebagai: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela". Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
Abd al-Rahman al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba ’ah, menghimpun empat pengertian hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
Dari beberapa pengertian hibah tersebut dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
Rukun dan Syarat Hibah
a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.[4]
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d. Akad (Ijab dan Qabul),
Akad (ijab qobul) misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
Hukum Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim)[5]
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah.
Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.
Hukum hibah
Pada dasarnya memberikan sesuatu kepada oranglain hukumnya adalah mubah(jaiz). Dalam hukum asal mubah tersebut hukum hibah dapat menjadi wajib, haram dan makruh.
a. Wajib.
Hibah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai dengan kemampuannya. Rosululloh SAW bersabda yang artinya: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan adillah terhadap anak anak kalian”.
b. Haram
Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali.
c. Makruh
Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu baik berimbang maupun lebih banyak hukumnya adalah makhruh.
Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
3. Dapat mempererat tali silaturahmi
4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.
B. Persamaan dan Perbedaan Wakaf, Wasiat, Hibah
Persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah
Beberapa persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah antara lain adalah:
Dalam wakaf dan hibah terdapat orang yang memberikan hartanya (yang disebut wakif dan wahib), barang yang diberikan, dan orang yang menerimanya.
Apabila seseorang yang berwakaf telah mengatakan dengan tegas atau berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada adanya kehendak untuk mewakafkan hartanya atau mengucapkan kata-kata, maka telah terjadi wakaf itu tanpa diperlukan penerimaan (qabul) dari pihak lain. Sedangkan hibah, selain adanya perkataan dan perbuatan yang tegas dari wahib untuk menyerahkan barangnya (ijab) perlu ada pula penerimaan dari penerima harta yang dihibahkan (qabul).
Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama. Tidak diperbolehkan mewakafkan ataupun menghibahkan barang yang terlarang untuk diperjualbelikan, seperti barang tanggungan (borg), barang haram dan sejenisnya.
Benda wakaf hanya boleh diberikan kepada sekelompok orang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Sedangkan hibah bisa diberikan kepada perorangan ataupun kelompok baik untuk kepentingan orang banyak maupun kepentingan individu.
Barang wakaf tidak bisa menjadi milik seseorang sedangkan barang yang dihibahkan bsa menjadi milik seseorang
Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya.
Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut pendapat kelompok kami wakaf, wasiat, dan hibah adalah sama-sama memberikan sesuatu kepada orang lain, namun ada perbedaan antara ketiganya. Benda yang boleh diwakafkan adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama.
DAFTAR PUSTAKA
Ramulyo, M. Idris, 2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undanag-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika
Departemen Agama RI, 2007, Fiqih Wakaf, Jakarta
-----------------------------, 2007, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta
www.wakafalazhar.com
[1]Muhammad al-Khatib, al-Iqna’
(Bairut: Darul Ma’rifah), hal. 26 dan Dr. Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Al-Islami wa
‘Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikr al-Mu’ashir), hal. 7599
[2] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hal. 131
[3] Departemen Agama, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1974), hal. 44.
[4]
Abu Bakr Jabir Al-jazairi, Ensiklopedi Muslim (Jati waringin: 2009) hal. 568-572.
[5]
Abu Bakr Jabir Al-jazairi, Ensiklopedi Muslim (Jati waringin: 2009) hal. 568-572.
[1]Muhammad al-Khatib, al-Iqna’
(Bairut: Darul Ma’rifah), hal. 26 dan Dr. Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Al-Islami wa
‘Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikr al-Mu’ashir), hal. 7599
[2] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hal. 131
[3] Departemen Agama, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1974), hal. 44.
[4]
Abu Bakr Jabir Al-jazairi, Ensiklopedi Muslim (Jati waringin: 2009) hal. 568-572.
[5]
Abu Bakr Jabir Al-jazairi, Ensiklopedi Muslim (Jati waringin: 2009) hal. 568-572.